PESAN TERINDAH AYAH

Mentari mulai sembunyi di balik cakrawala, burung-burung terbang kembali ke sarangnya dan ayam-ayam juga pulang ke kandangnya. Senja mulai menyapa, menyambut senyuman rembulan bersama kemerlip bintang. Seorang gadis desa beranjak remaja duduk di teras rumah bersama ayahandanya. Berbincang-bincang santai sambil menunggu azan magrib berkumandang. Elisa nama gadis berkulit kuning langsat dan berambut panjang.
Hampir setiap di penghujung hari, Elisa dan ayahnya menghabiskan waktu di teras rumah. Namun, perbincangan mereka sedikit berbeda. Elisa yang berusianya masih belia—empat belas tahun—merasa kaget. Sambil minum teh dan kue kering yang disajikan ibunya tiba-tiba ayah Elisa memulai berbicara.
“Nak, dengarkan! Ayah mau ngomong,” katanya.
“Iya. Ayah mau ngomong apa? Elisa siap mendengarkan,” jawab Lisa sambil minum teh di depannya.
“Kamu semakin hari, semakin tambah umur. Hati-hati kalau berteman, belajar yang baik, dan jangan pacaran dulu, fokus dengan sekolahmu,’’ kata ayah Elisa.
“Siap, Ayah. Itu sudah saya lakukan, dan akan terus berusaha menjadi anak yang baik, patuh sama Ayah dan Ibu. Ada lagikah, Ayah yang ingin disampaikan, keburu magrib, ntar,” canda Elisa kepada ayahnya.
“Ayah bahagia mendengar jawabanmu,” balas ayah sambil mengelus rambut panjang putrinya.
Elisa tinggal di sebuah desa yang jauh dari pusat kota. Tidak sedikit tetangganya yang mengadu nasib bekerja di luar kota maupun luar negeri. Hal ini ternyata menjadi kegelisahan juga bagi ayah Elisa terhadap masa depan anaknya. Beliau ingin Elisa bisa lebih baik dari orang tuanya.
Sambil sesekali meminum teh yang sudah disajikan ibunya, Ayahnya pun menyampaikan unek-uneknya lagi kepada putrinya, “Elisa, nanti jika bekerja, bekerjalah di negeri sendiri dan dengan menolong banyak orang. Kamu boleh keluar negeri, tetapi tidak sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan menikahlah dengan seseorang yang seiman.”
“Bekerja dengan menolong banyak orang itu contohnya apa, Ayah?” tanya Elisa.
“Banyak sekali perkerjaan menolong orang, salah satunya menjadi perawat. mereka menolong orang sakit dan itu pekerjaan mulia.” Ayah Elisa menjelaskan.
Tanpa mereka sadari waktu salat Magrib pun tiba, dan ayah Elisa beranjak ambil wudu serta berjalan ke musala dekat rumah mereka untuk salat berjamaah, diikuti Elisa. Hingga menjelang tidur Elisa masih saja memikirkan ucapan ayahnya. Apakah beliau ingin Elisa menjadi perawat? Elisa ingin mengutarakan argumennya, tetapi dia belum berani. Ditahannya pertanyaan itu, tetapi ia tidak lupa dengan pesan ayahnya.
Waktu terus berjalan, hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun terus berganti. Tidak terasa Elisa telah lulus SMA dan ijazah telah dia terima. Elisa sekolah di luar kota sambil bekerja juga. Saat lulus SMA, ayah Elisa sedang bekerja di luar kota. Elisa memberi kabar lewat media telepon bahwa dia lulus sekolah. Dan, ayahnya bahagia mendengar kabar tersebut. Ayahnya juga berpesan boleh bekerja, tetapi sambil kuliah.
Elisa berkata, “Iya, Ayah. Elisa juga ingin kuliah, tapi Elisa cari kerja yang lebih baik dulu, ya, agar gajinya lumayan bisa buat hidup di kota juga kuliah.”
“Baiklah, Nak kalau itu maumu. Ayah mendukung dan mendoakanmu,” jawab ayahnya.
“Ayah, aku kangen ibu dan adik. Kalau aku pulang dulu boleh, ‘kan?” tanya Elisa. Namun, ayahnya belum mengizinkannya.
“Pulang bareng Ayah saja, tiga bulan lagi insha Allah ayah pulang. Kita pulang bersama,” jawab Ayahnya Elisa.
Tanpa banyak kata, Elisa menyetujui permintaan ayahnya.
Tiga bulan hampir berlalu, waktu yang ditunggu Elisa segera tiba. Elisa bekerja di sebuah counter pulsa di kota metropolitan. Di kota itu Elisa tinggal dengan tantenya. Biasanya, dua atau tiga kali dalam seminggu dia menghubungi orang tuanya. Tidak setiap hari karena Ayahnya tidak mempunyai ponsel. Sehingga, ia merasa tidak enak jika ayahnya pinjam ponsel setiap hari pada rekan kerjanya. Elisa pun terkadang nunggu ayahnya telepon dulu.
Saat Elisa beristirahat siang, ponsel Elisa berdering ternyata ayahnya telepon. Mereka berbicara lumayan lama, sambil tanya kabar dan ayahnya berpesan agar jaga diri serta tidak meninggalkan salat. Mereka melepas rindu lewat telepon tersebut.
Hari telah berganti, entah mengapa rasa rindu Elisa kepada ayahnya memuncak sekali saat itu. Hingga dia berkata kepada teman kerjanya, “Mbak Wati, aku ini kenapa, ya? Rasanya kangen banget sama ayahku. Perasaan baru kemarin telepon dan tidak biasanya seperti ini.”
“Coba telepon lagi aja, Lis,” bujuk Wati. Namun, Elisa tidak menghubungi ayahnya karena takut mengganggu teman beliau.
Tidak lama kemudian, terlihat tante Elisa lari terbirit-birit menuju counter tempat ia bekerja. Tanpa banyak basa-basi dia berkata, “Elisa, kita harus pulang sekarang. Sudah tidak ada waktu lagi, pokoknya harus pulang.”
“Ada apa, Tante? Ngomong yang jelas!” pinta Elisa.
“Ayah sakit. Ayo, kita pulang sekarang! Nanti saya jelaskan,” desak tantenya mengajak pulang.
Kebetulan saat itu bos Elisa ada di counter dan mereka mengizinkannya pulang. Di perjalanan Elisa mendengar percakapan tante lewat media telepon.
Tantenya berkata, “Pemakamannya tunggu kami datang, ya, Puh. Kami sedang perjalanan pulang.”
Mendengar ucapan itu, tangis Elisa pecah tidak tertahankan. “Tante, siapa yang meninggal? Bukan Ayah, kan, Tan? Tante, jawab!” pekik Elisa.
Sambil berlinang air mata, dan mencoba menenangkan Elisa, tantenya menjawab, “Nak, yang tenang, ya …. Ayah kemarin sempat kecelakaan kerja, dan Allah lebih sayang beliau daripada kita. Sabar, ya, Nak. Kita doakan yang terbaik untuk Ayah.”
Pikiran Elisa tidak karuan mendengar berita yang seakan-akan tidak bisa dia terima. Dia masih teringat jelas, akan pulang bersama ayahnya, tetapi ayahnya hanya pulang raganya saja. Ia masih teringat akan pesan-pesan ayahnya dan kegundahan hatinya kian memuncak kala menyadari tulang punggung keluarganya telah tiada.
Dalam perjalanan pulang, Elisa akhirnya menyadari bahwasanya apapun takdir Allah itulah yang terbaik. Dan, Allah menguji umat-Nya dari apa yang dicintainya.