Seutas Harapan

Bagaimana rasanya menjadi seseorang yang setiap hari harus memandang hiruk-pikuk lalu lintas di tengah kota? Bagaimana rasanya setiap hari melihat orang lain melakoni rutinitas yang ia tidak mampu lakukan? Dan, bagaimana rasanya setiap hari harus berperang dengan debu dan ganasnya sinar matahari terik?
“Tolong! Tolong! Tolong!”
Suara teriakan minta tolong dari seorang remaja laki-laki seusia anak SMP memenuhi ruang hampa pagi ini. Ia lari ke sana ke mari sembari berteriak meminta pertolongan. Tampak jua seorang gadis mungil tergeletak begitu saja di atas trotoar jalan. Mungkin usianya belum genap tiga tahun.
“Tolong, Pak! Tolong adik saya!” teriak remaja tersebut sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada seraya meminta belas kasihan dari orang yang berlalu menggunakan sepeda motornya.
Sayangnya, orang tersebut tidak mengindahkan permintaannya, bahkan melajukan kendaraannya semakin kencang karena tidak mau berurusan dengan anak ingusan sepertinya.
Tanpa membuang waktu, bocah tersebut lari menghampiri gadis kecil itu dan mengangkatnya untuk diletakkan di atas pangkuan. Tepukan ringan di kedua pipi sang gadis kecil diharapkan dapat mengembalikan kesadarannya.
“Tari, bangun, Dek! Jangan buat Kak Putra takut. Dek, ayo bangun! Kamu kenapa, Tari ….”
Remaja yang ternyata bernama Putra tersebut melongok ke kanan dan kiri hendak mencari bantuan. Malangnya, kondisi perempatan jalan yang biasa ia jadikan tempat mangkal ternyata sedang lengang. Hampir tidak ada kendaraan yang lewat, kalau pun ada sangatlah jarang. Tumben, karena biasanya jalan tersebut lumayan padat lalu lalang kendaraan bermotor.
Takut terjadi apa-apa dengan Tari kecil, Putra mengambil inisiatif untuk menggendongnya dan berlari ke arah rumah sakit terdekat sembari terus berteriak meminta tolong. Walaupun ia tahu tidak banyak orang yang akan bersedia menolong seorang anak jalanan sepertinya.
Ya, Putra adalah seorang anak jalanan. Ia suka mengamen di pinggir jalan. Setiap pagi saat jalanan mulai padat oleh kendaraan, ia sudah dipastikan akan memulai aksinya menjual suara dengan bermodal alat musik dari tutup botol yang dirangkai hingga mampu mengeluarkan suara gemerincing. Tidak lupa, ia selalu mengajak seorang gadis kecil yang selalu dipanggil Tari.
Dek, istirahat sebentar, ya? Kak Putra capek,” keluhnya dengan tarikan napas cepat dan pendek. Letih karena harus berlari sambil menggendong anak kecil yang bahkan tidak lagi mampu meresponnya.
“Loh, Dek, itu adiknya kenapa? Kamu mau ke mana?” Seorang laki-laki paruh baya tetiba menepikan mobilnya, kemudian mendatangi mereka berdua.
“Tolong, Pak! Adik saya sakit, tadi dia pingsan di sana.” Putra menunjuk ke tempat Tari mulai tidak sadarkan diri. “Tolong bantu saya bawa adik saya ke tumah sakit, Pak.”
“Ya, sudah. Ayo, cepat bawa dia ke dalam mobil saya!” perintah laki-laki tersebut sembari berlari membuka pintu mobil bagian belakang.
Hening. Perjalanan ke rumah sakit terdekat terasa cukup menegangkan. Sang Penolong menjaga fokusnya agar tetap pada tempatnya. Berharap mereka segera sampai di rumah sakit dengan selamat. Di sisi lain, Putra tidak henti-hentinya memanjatkan doa agar anak kecil yang berada dalam rengkuhannya segera mendapat pertolongan.
“Terimakasih, Pak—”
“Heru Bagaskara, panggil saja Pak Heru,” sahutnya cepat memotong perkataan Putra yang kesulitas menyebutkan namanya.
“Terimakasih banyak, Pak Heru. Saya tidak bisa membalas semua kebaikan yang sudah Bapak berikan untuk kami. Semoga kebaikan Bapak dibalas oleh Yang Maha Kuasa.” Putra mengucapkan rasa terima kasihnya saat mereka berdua duduk di ruang tunggu.
“Sama-sama. Nama kamu siapa? Ini masih jam sekolah, kenapa kamu tidak masuk sekolah?” tanya Heru basa-basi pada Putra.
Heru perlu pertanyaan pemantik untuk mengorek identitas remaja yang terlihat lusuh di hadapannya ini. Sebenarnya, ia sudah dapat menduga. Namun, bukankah berburuk sangka itu tidak baik? Hingga ia memutuskan untuk menanyakan secara langsung.
“Nama saya Aris Saputra tapi biasa dipanggil Putra, Pak. Saya dikeluarkan dari sekolah karena tidak sanggup bayar uang SPP yang nunggak beberapa bulan.” Putra menjawab pertanyaan Heru sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap netra sang penanya.
Terus, kamu tadi mau ke mana? Apa kamu sudah hubungi orang tuamu?”
“Saya ngamen di jalan, Pak. Bapak saya nyuruh saya ngamen karena tidak sanggup membiayai sekolah saya. Ibu saya sudah meninggal satu tahun yang lalu, bapak saya juga hanya seorang pemulung. Dan, sebenarnya … Tari itu bukan adik saya, Pak. S-sa-saya tidak tahu siapa orang tuanya Tari, karena setiap pagi bapak saya selalu membawa Tari ke rumah dan menyuruh saya untuk mengajaknya ngamen. Kata bapak saya, supaya hasil ngamennya lebih banyak.”
Putra terus menunduk, ia tidak berani mengangkat kepalanya saat berbicara. Takut, malu, juga tidak tahu harus bagaimana. Ia benar-benar serasa berada di ujung jalan buntu karena tidak tahu siapa orang tua gadis mungil yang selalu bersamanya. Jadi, dia tidak tahu bagaimana caranya menghubungi mereka. Apalagi ia juga harus menghadapi amarah bapaknya sendiri karena insiden ini. Putra paham akan tempramen sang ayah yang kurang mampu mengontrol emosi. Di samping itu, dirinya bingung dengan cara apa ia harus membayar biaya rumah sakit Tari.
Bulir matanya menetes tanpa henti. Mengisyaratkan bahwa ia benar-benar merasa tertekan dengan keadaan yang mengimpitnya. Heru yang masih setia mendampingi terus berusaha menyalurkan ketenangan lewat elusan ringan di punggung Putra.“
Jadi, sebenarnya kamu tidak tahu siapa orang tuanya Tari?” Heru melontarkan pertanyaan yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu jawabannya, tetapi hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh sang lawan bicara.
“Sa-saya takut sekali, Pak. Saya takut kalau Tari tidak tertolong. Saya takut bapak saya marah kalau tahu Tari sakit pas lagi ngamen sama saya, padahal saya selalu kasih dia makan sehari tiga kali. Saya juga takut tidak bisa bayar biaya rumah sakit ini. Uang saya cuma cukup untuk makan besok dan untuk dikasihkan ke orang tua Tari sebagai biaya sewa anaknya.” Putra semakin terisak karena meratapi nasibnya sendiri. Nasib yang membuatnya iri dengan teman sebaya yang jauh lebih beruntung dibandingkan dirinya.
Heru menahan sesak cukup lama. Mulutnya menganga, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari kerongkongannya. Lidahnya kelu mendengar penuturan nan jujur dari pemuda yang seharusnya masih asik bermain dengan teman seusianya. Namun, hidup serasa mendapatkan mainan lucu hingga anak sekecilnya sudah merasakan pahit getirnya hidup ini.
“Sudah, soal biaya jangan kamu pikirkan dulu. Nanti kita cari jalan keluarnya sama-sama. Yang terpenting, kamu sekarang banyak berdoa supaya Tari tidak kenapa-kenapa,” ucap Heru menenangkan Putra.
tidak kenapa-kenapa,” ucap Heru menenangkan Putra. Sebenarnya, bagi Heru lebih dari mampu jika hanya membiayai pengobatan Tari selama beberapa hari jika memang terpaksa harus rawat inap. Namun, ada beberapa hal yang menurutnya masih mengganjal. Ia berusaha menarik benang merah dari cerita yang baru saja Putra ceritakan. Putus sekolah, mengamen, balita sewaan. Heru masih tidak percaya, bagaimana bisa orang tua merampas hak anaknya sendiri dan mengeksploitasi tenaga mereka untuk dijadikan mesin pencari uang dengan dalih membantu memenuhi kebutuhan keluarga? Padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab mereka sendiri.
“Keluarga pasien atas nama Tari.” Seorang perawat menginterupsi lamunan kedua manusia beda usia tersebut.
“Iya, Sus. Saya keluarga pasien atas nama Tari. Bagaimana kondisinya?” Heru mengajukan diri untuk mengambil tanggung jawab atas pengobatan Tari.
“Mari ikut saya, Pak. Nanti dokter yang akan menjelaskannya di dalam.” Perempuan dengan seragam serba putih tersebut melangkah memasuki sebidang ruang tempat Tari mendapatkan penanganan yang diikuti Heru di belakangnya.
Putra gelisah bukan main karena tidak dizinkan ikut masuk. Ia mondar-mandir di depan pintu, berharap seseorang segera keluar dan memberikan seutas harapan baik padanya.
Selang beberapa menit kemudian, ia melihat dokter dan perawat keluar dari ruangan. Heru menyusul di belakangnya. Putra menghampiri Heru dan menanyakan kondisi Tari. Heru hanya menyampaikan sesuai penuturan dokter yang menangani sang gadis bahwa Tari sudah siuman, tetapi ia sedang tidur. Tari juga mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan tubuh.
“Kapan Tari boleh pulang, Pak?” Putra menanyakan kegundahannya dengan suara bergetar.
“Tari perlu dirawat selama beberapa hari ke depan. Dia terkena Typus, dan sudah lumayan parah. Kalau dia dibawa pulang, itu sangat berbahaya untuknya,” jelas Heru.
“Terus saya harus bagaimana, Pak? Saya tidak punya uang untuk biaya rumah sakit.” Putra membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangan. Tubuh kurusnya lunglai hingga terduduk di lantai karena tidak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri.
“Saya bisa bantu kamu, tapi … dengan beberapa syarat,” ucap Heru tegas.“S-syarat? Syarat apa, Pak?” tanya Putra ragu. Kedua netranya memandang lekat manik tegas Heru dengan perasaan was-was.
Pertama, pertemukan saya dengan kedua orang tua Tari. Kedua, kamu wajib kembali sekolah. Saya yang akan membiayai sekolah kamu,” jelas Heru dengan memberi penekanan pada kata wajib.
“Kenapa Bapak mau bertemu dengan orang tua Tari?” Putra belum mampu membaca apa tujuan Heru sebenarnya.
“Saya mau mengangkat kalian berdua menjadi anak angkat saya. Kamu bersedia?” tanya Heru lembut dengan penuh keyakinan sambil mengelus kepala Putra. Berharap sang pemuda mau mempertimbangkan keinginannya. Mengingat bahwa sampai saat ini ia belum dikaruniai momongan.
“Hah?” Kedua mata Putra membola masih tidak yakin dengan apa yang baru saja didengar.
“Kamu mau, kan, jadi anak angkat saya? Dan, Tari menjadi adik angkat kamu? Kalau kamu mau, tolong pertemukan saya dengan kedua orang tua Tari. Sampai sekarang saya belum punya anak. Saya miris melihat kalian berdua disia-siakan seperti ini, padahal … saya justru sangat berharap mendapatkan anak-anak yang baik seperti kalian.”
“Tapi bagaimana caranya, Pak?”
“Kamu pulanglah. Beri tahu bapak kamu kalau Tari sakit dan dirawat di rumah sakit ini. Ajak orang tuanya ke sini bersama bapakmu. Nanti saya yang akan menjelaskan kepada mereka bertiga. Semua biaya pendidikan kamu dan Tari, beserta biaya rumah sakit ini, saya yang akan menanggungnya. Asalkan kalian berdua bersedia menjadi anak angkat saya.”
Mendengar niat baik Heru yang akan menjadikan mereka sebagai anaknya, membuat Putra tidak kuasa menahan air mata. Ia merasa memiliki harapan kembali untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis anak. Mewujudkan harapan ibunya yang menginginkan anak semata wayangnya dapat bermanfaat untuk banyak orang. Juga memberikan motivasi untuk anak jalanan lainnya supaya tidak berhenti mengejar cita-citanya. Walaupun sebagai anak jalanan, tetapi menggantungkan cita-cita setinggi langit adalah suatu keharusan.
Terima kasih, Pak. Terima kasih. Saya janji, tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Bapak berikan untuk saya. Saya janji,” pungkas Putra dengan penuh keyakinan sambil memeluk laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi orang tua angkatnya.
__THE END__